14
Sep
09

“ Tidak Cukup Hanya Puasa, Pantang dan Berdoa”

Hal 4Dalam suatu pertemuan lingkungan, Ketua Lingkungan memberi sambutan di podium.

Ketua Lingkungan : “Saudara-saudara terkasih, hari ini kita akan membicarakan tentang habitus. Kita harus meninggalkan habitus lama kita dan menciptakan habitus baru.”

Warga 1 : “Habitus itu apa Pak?”

Ketua Lingkungan : “Nah, ini adalah salah satu habitus lama yang harus ditinggalkan, masa habitus saja tidak tahu!”

Warga 2 : “Tapi betul Pak, mungkin bisa dijelaskan dulu habitus itu apa?”

Ketua Lingkungan : “Ini juga salah satu habitus lama yang paling tidak saya sukai, yaitu memotong pembicaraan orang lain.”

(Tiba-tiba sekretaris lingkungan lari tergopoh-gopoh mendekati podium)

Sekretaris Lingkungan : “Pak, naskah pidato Bapak tentang habitus hari ini belum saya print. Komputer tiba-tiba rusak. Parahnya lagi, saya tidak menyimpan naskah itu di tempat lain. Jadi, hari ini Bapak berbicara tanpa naskah ya….”

Ketua Lingkungan : “Saudara-saudara, berhubung saya tidak memegang naskah tentang habitus karena satu dan lain hal, maka pembicaraan habitus hari ini ditunda sampai bulan depan…. .” (dengan wajah tidak bersalah)

Warga : “Amin”

 

Peristiwa di atas pernah dimuat dalam bentuk komik jenaka di suatu majalah. Dalam bentuk berbeda tetapi memiliki pola yang sama, kita sering melakukan kebiasaan-kebiasaan buruk tanpa kita sadari, seperti menerobos lampu merah, malas antri, menyuap polisi atau birokrasi, dll.  Juga ada sikap-sikap buruk yang terus kita langgengkan seperti memaksakan kehendak, menyetujui dan melakukan kekerasan, menuhankan uang, memburu kenikmatan semata, dan lain sebagainya.

Kebiasaan-kebiasaan tersebut atau yang sering diistilahkan dengan habitus adalah kecenderungan atau pembawaan diri yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging. Habitus biasanya bersifat spontan dan tidak sangat disadari oleh pelakunya sehingga tidak pula disadari apakah kebiasaan itu terpuji atau tercela. Habitus seringkali merupakan hal yang remeh-temeh (misalnya malas antri) tetapi menjadi landasan dan tempat terciptanya sesuatu yang lebih besar yaitu keadaban publik. 

Istilah habitus lama ditujukan untuk kebiasaan yang buruk sedangkan istilah habitus baru ditujukan untuk kebiasaan baik yang ingin diciptakan untuk memperbaiki kebiasaan yang buruk. Mengubah habitus lama menjadi habitus baru harus selalu diawali dengan langkah identifikasi diri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sehingga mengetahui bahwa kebiasaan tersebut atau habitus itu adalah habitus yang tidak baik. Setelah identifikasi, langkah selanjutnya adalah mengupayakan pembentukan habitus baru.

Secara istimewa Benedizione menjumpai Romo Agustinus Eko Wiyono, Romo Wilayah IV “St. Yohanes Rasul” Paroki Hati Kudus Yesus Surabaya untuk berbagi pengalaman terkait dengan habitus baru dan budaya alternatif.

Romo yang ditahbiskan pada 30 Agustus 2006 ini mengungkapkan bahwa habitus lama yang masih kuat di kalangan umat adalah budaya instan baik dalam hal rohani mau pun dalam kehidupan di lingkungan. Dalam kehidupan rohani, umat cenderung berdoa dengan embel-embel agar cepat dikabulkan sehingga ketika doa tidak dikabulkan maka Tuhan diadili.

Dalam kehidupan menggereja, umat cenderung ingin yang praktis dan tidak mau repot, seperti: beberapa orang tidak mau repot latihan koor tetapi ingin tampil, tidak ikut pertemuan tetapi banyak mengkritik. “Saat ini, orang lebih mudah mengadili apa yang dilakukan oleh orang lain daripada bertindak dari diri sendiri, lebih mudah NATO atau No Action Talk Only,” tutur romo Eko.

Hal tersebut menyebabkan nilai perjuangan semakin merosot dan yang paling fatal adalah pribadi manusia terancam karena orang hanya berpikir untuk dirinya sendiri karena nilai kesabaran, pengorbanan, dan berproses sudah mulai melemah. Nilai pertemanan dan relasi pun semakin pudar karena makna kebersamaan hilang. Habitus lama yang juga masih kuat di kalangan umat adalah kecenderungan ingin dihormati.

Habitus lama ini harus diberantas dengan menciptakan habitus baru, seperti: berani menjadi yang pertama untuk menjadi pewarta atau memberi kesaksian dan berani memberi peluang dan kepercayaan kepada orang lain. “Kesaksian bukan hanya untuk menjadi martir dengan menumpahkan darah melainkan berani menjadi yang pertama berkorban untuk sesama, melayani tanpa pamrih, dan mewartakan kabar sukacita. Mewartakan kabar sukacita berarti menghayati kebahagiaan dan membagikannya dengan orang lain”, demikian romo yang juga menjadi koordinator Pelayanan Pastoral Mahasiswa (PPM) ini menambahkan.

Dalam Nota Pastoral KWI 2004, Gereja berpesan agar umat membangun budaya alternatif atau budaya tandingan. Budaya ini sanggup menggerakkan orang untuk memilih dan mengembangkan pola pandang  dan perilaku yang baru demi terciptanya bonum commune (kesejahteraan bersama).

Dalam kehidupan di lingkungan, menghidupi paguyuban merupakan budaya alternatif yang dapat diambil sebagai langkah nyata untuk menanamkan nilai persekutuan. “Berani menawarkan diri atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan lingkungan atau bahkan berani menjadi pengurus dalam lingkungan, wilayah, maupun paroki. Karena yang umum terjadi adalah sekali menjadi pengurus lingkungan maka akan berlaku untuk selamanya dan tak tergantikan. Bukan karena tidak mau diganti melainkan karena tidak ada yang mau menggantikan,” imbuh romo asli Blitar ini.

Nah, dalam rangka mewujudkan bonum commune lewat habitus baru dan budaya alternatif itu, hidup kita dipengaruhi oleh sebuah tatanan yang disebut “keadaban publik” Secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah tatanan hidup bermasyarakat dimana martabat manusia dijunjung tinggi sebagai citra Allah. Sebuah tatanan dimana orang tidak melulu berpikir soal sekitar pribadinya sendiri, tapi juga memikirkan suasana dan lingkungan yang kondusif bagi bonum commune. Ini bisa terjadi jika tiga poros (lihat box atas) berperan secara seimbang.

Sebagai salah satu upaya menciptakan habitus baru dalam semangat paskah, romo Eko Wiyono berpesan, “Dalam masa prapaskah, kita tidak cukup hanya berpantang, berpuasa, dan berdoa. Kita juga harus beramal atau berbagi. Berbagi bukan dari kelebihan yang kita miliki tetapi memberikan tanpa menanti diberi. Kita telah menerima banyak kelebihan dari Tuhan sehingga tidak ada alasan untuk tidak memberi kepada orang lain. Memberi bukan berarti hanya berupa uang tetapi juga kasih, waktu, bahkan diri kita sendiri”.

Semoga dalam suasana Paskah ini kita semakin diteguhkan. (*)

Oleh M. Ch. Reza Kartika


0 Responses to ““ Tidak Cukup Hanya Puasa, Pantang dan Berdoa””



  1. Leave a Comment

Leave a comment